DINUN.ID Indonesia, atau juga dikenal dengan sebutan Nusantara, adalah negeri yang berada jauh dari tempat kelahiran Islam di Semenanjung Arabia. Namun demikian, hari ini Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Nusantara, meskipun proses untuk itu memakan waktu yang cukup panjang. Hingga tahun 1700-an, ditengarai bahwa Islam masih belum menjadi agama mayoritas meskipun, sebagaimana diungkapkan oleh sebagian pandangan, Islam sudah diterima dengan baik di pulau Sumatera, ditandai oleh berdirinya berdirinya Kesultanan Islam Jeumpa (776 M), Peureulak (875 M), dan Samudra Pasai (1260 M). Sementara itu, kehadiran Islam di Jawa tidak bisa dipastikan waktunya secara akurat karena ketiadaan bukti-bukti pendukung. Ketika utusan Cina yang bernama Ma Huan tiba di pesisir utara tanah Jawa pada tahun 1413-1415, ia mendapati tiga kelompok orang yang tinggal di sana. Ketiga kelompok tersebut antara lain orang-orang Islam dari barat, orang-orang Cina (sebagian adalah Muslim), dan orang-orang Jawa non-Muslim (Ricklefs, 2001). Menariknya, dan ini berbeda dari pemahaman yang berkembang selama ini bahwa Islam mula-mula dipeluk oleh masyarakat pesisir, sejumlah batu nisan di Trowulan dan Trilaya menunjukkan bahwa sebagian keluarga istana Majapahit sudah memeluk Islam. Batu-batu nisan tersebut bertanggalkan 50 tahun lebih awal dari laporan yang dibuat Ma Huan, dan itu berarti, sebagaimana dinyatakan Ricklefs, bahwa kaum ningrat Jawa sudah lebih dulu memeluk Islam dibanding masyarakat pesisir. Tetapi secara umum, persebaran Islam awal di Nusantara terjadi secara lambat dan tidak merata.
Pertanyaan yang selalu menggelitik adalah bagaimana mungkin Islam menjadi agama mayoritas di sebuah negeri yang bukan saja jauh dari tempat kelahirannya, tetapi juga sudah memiliki seperangkat keyakinan keagamaan dan peradaban yang cukup maju di jamannya, dan didakwahkan secara damai, berbeda dari apa yang terjadi di belahan bumi yang lain? Salah satu jawaban yang paling mudah diterima adalah karena pola-pola dakwah Islam yang dijalankan di Nusantara adalah bersifat gradual dan merangkul tradisi dan kearifan lokal, seperti dicontohkan oleh “Walisongo.”
Terlepas dari perdebatan yang terus terjadi terkait historistasnya, Walisongo telah menjadi narrative of origin bagi identitas keislaman bukan saja di Jawa, tetapi di Nusantara secara keseluruhan. Makna simbolis Walisongo sebagai sebuah institusi sosiohistoris dan relijiokultural memainkan peran paradigmatis di dalam membentuk imaji keislaman di Nusantara. Konsep Walisongo menjadi paradigma yang digunakan oleh orang-orang Islam Nusantara untuk membentuk apa yang Benedict Anderson (1983) sebut imagined communities. Meskipun pada dasarnya Islam yang hadir di Nusantara adalah sama dengan yang tersebar di lokalitas-lokalitas dunia yang lain, situasi sosiohistoris dan kultural yang berbeda di Nusantara tak pelak melahirkan wajah Islam yang juga berbeda. Jika Islam di Arab, misalnya, bersifat tekstualis maka Islam di Nusantara lebih bersifat kontekstualis, bukan saja mempertimbangkan kebudayaan lokal tetapi sekaligus merangkulnya. Berbagai ekspresi kultural lokal di Nusantara tidak serta merta diberangus, melainkan diberi suntikan-suntikan keislaman. Kebudayaan adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah kolektivitas. Agama yang turun dari langit tidak jatuh menghujam bak meteor yang meluluhlantakkan, tetapi lebih sebagai ungkapan kasih sayang Allah yang mencari pijakan, tempat berlabuh di bumi dan di hati setiap orang. Meminjam terminologi Nashr Hamid Aby Zayd, proses Islamisasi di Nusantara adalah sebuah fenomena pergeseran min mafhum al-nash ila mafhum al-nas, pergeseran dari penekanan pada teks menuju konteks, dengan mempertimbangkan situasi manusia berikut kebudayaan yang mengitarinya. Dalam banyak hal, paradigma dakwah ini, sebagaimana dijalankan dan dilembagakan oleh Walisongo, adalah serupa dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi sering tak dipahami atau disalahpahami oleh banyak orang, terutama orang Islam sendiri. Terdapat banyak ayat al-Qur’an dan Hadits yang menyatakan bahwa kehadiran Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam– tidaklah untuk mengajarkan sesuatu yang sama sekali baru. Ia hanya melanjutkan misi profetis yang ada sebelumnya, dan melakukan penyempurnaan. Karena itu, Nabi tidak pernah menganggap semua hal yang ada sebelum risalahnya sebagai yang harus dihilangkan secara menyeluruh, karena di dalam kebudayaan pra-Islam demikian sudah terpatri nilai-nilai luhur (makarim al-akhlaq) yang pernah diajarkan oleh para Nabi dan Rasul sebelumnya atau merupakan kreatifitas kultural masyarakat Arab saat itu yang tak bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Innama bu’itstu li utammima makarim al-akhlaq! Demikian sabda Nabi.
Oleh karena itu, paradigma profetis yang mampu dengan baik diterjemahkan oleh Walisongo di Nusantara ini harus terus menerus diajarkan dan dijalankan. Seiring makin maraknya kemunculan kecenderungan keberagamaan yang membentur-benturkan antara budaya dan agama, dan menghendaki yang kedua untuk mengalahkan yang pertama, kita memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan dakwah Islam kepada paradigma profetis yang sejati. Pada titik inilah, kebutuhan akan da’i-da’i yang mumpuni semakin tak terelakkan. Dalam konteks Islam di Nusantara, da’i-da’i demikian harus lebih aktif menjalankan tugasnya sebagai waratsat al-anbiya’ mengisi ruang-ruang publik dengan ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil alamin, sebagaimana didakwahkan Nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam.[]
Penulis: Achmad Tohe (Direktur Da’i Intelektual Nusantara Network/DINUN)
Penyelia Bahasa: Abdur Rahim