Berbicara sejarah Bangsa Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari peran kaum santri. Sejak zaman kolonial santri telah menjadi subjek utama dalam proses pembangunan bangsa. Mulai bidang ekonomi, politik, hingga hukum, peranan para santri tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Tanpa bermaksud menafikan yang lain, misalnya, perlawanan terhadap penjajah di daerah-daerah ketika masa kolonial mayoritas diinisiasi oleh kalangan pesantren, terutama para mursyid tarekat, kiai, dan para santri-santrinya. Salah satu tokoh santri penggerak perlawanan terhadap penjajah tentu saja adalah Jenderal Sudirman, santri Kiai Subchi Parakan atau yang lebih dikenal sebagai Kiai Bambu Runcing.
Setelah Indonesia merdeka, kaum santri tidak lantas berpangku tangan. Tercatat sosok seperti Wahid Hasyim dan Abdurrahman Wahid adalah dua dari sekian banyak santri yang gigih memperjuangkan kemajuan bangsa Indonesia. Hari inipun, semangat untuk menjaga persatuan dan kesatuan NKRI masih menjadi spirit utama pergerakan kaum santri. Hal ini merupakan bentuk kecintaan terhadap bangsa, yang untuk memperjuangkannya, para kiai dan pejuang zaman dulu rela menukarnya dengan darah dan harta.
Namun dewasa ini, kesan tradisionalis yang melekat pada kaum santri sering dijadikan celah untuk menstigmanya sebagai stereotip orang-orang anti modernitas, saklek, dan statis. Padahal sejatinya kaum santri sangat cair dalam menghadapi tantangan zaman. Postulasi al-muhafadhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-ahdu bi al-jadidi al-ashlah (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik) mewakili perwujudan dari sikap ini.
Di lain pihak, pengkotak-kotakan oleh kaum santri sendiri yang membanding-bandingkan lebih baik mana antara menjadi santri atau mahasiswa juga menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh pihak-pihak terkait. Sikap seperti inilah yang menjadikan santri sulit maju di kala kelompok lain telah merambah setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal jika mau sedikit bijak dalam memandang sesuatu, status santri maupun mahasiswa sama-sama baiknya, apalagi santri yang sekaligus merangkap status sebagai seorang mahasiswa.
Santri Melawan Radikalisme Kampus
Sudah menjadi kebiasaan kaum santri yang baru menyadari setelah banyak hal berubah, mereka kaget ketika BUMN, lembaga pemerintahan, lembaga perguruan tinggi, hingga arus informasi tiba-tiba telah dikuasai oleh kaum fundamentalis. Ini adalah konsekuensi dari sikap terlalu nyaman di zona nyaman dan menganggap bahwa tidak akan ada yang mampu menggoyang status quo sebagai mayoritas. Padahal tidak ada yang terjadi tiba-tiba, hal di atas terjadi secara bertahap dalam waktu yang cukup lama melalui gerakan kaderisasi yang masif di kampus-kampus negeri. Ini yang baru disadari oleh kaum santri akhir-akhir ini.
Radikalisme di kampus sebenarnya sudah ada sejak lama, hanya saja gerakan ini berkembang semakin pesat setelah hadirnya era reformasi. Wadah utamanya adalah melalui lembaga-lembaga dakwah kampus (LDK) di perguruan tinggi negeri. Semenjak lahirnya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada masa orde baru yang mengekang organisasi ekstra kampus untuk beraktivitas di dalam kampus, LDK otomatis menjadi satu-satunya wadah yang legal untuk melakukan aktivitas keagamaan di universitas.
Satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah, bahwa gerakan LDK juga dipengaruhi oleh beragam kepentingan, termasuk kepentingan organisasi Islam transnasional seperti Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin. Dua gerakan Islam inilah yang akhirnya menjadi warna dominan dalam tubuh LDK di berbagai kampus negeri di Indonesia.
Dari forum-forum LDK kemudian muncul gerakan untuk menguasai lembaga-lembaga kampus seperti BEM, DPM dan UKM, menguasai masjid-masjid kampus, membentuk jaringan liqo’, menguasai program asistensi keagamaan (mentoring), mendirikan kos-kos binaan, hingga menginfiltrasi gerakan rohis-rohis di SMA negeri. Dan orang-orang inilah yang di kemudian hari berdiaspora di gelanggang politik nasional, lembaga pemerintahan, hingga kantor-kantor BUMN seperti sekarang ini.
Lalu bagaimana seharusnya peran para santri? Para santri harus berani menampilkan identitasnya di dunia kampus negeri. Santri harus mampu membuat kontra-narasi terhadap propaganda radikalisme yang masuk ke perguruan tinggi. Paradigma para santri harus diperluas, bahwa santri bukan semata-mata suatu saat harus menjadi kiai.
Santri juga harus ada yang bergerak di sektor ekonomi, pendidikan, politik, hingga sains. Dan itu artinya harus ada golongan santri yang memang didorong untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri.
Gus Dur pernah mengatakan bahwa, keberkahan ilmunya santri tidak terlihat saat dia masih di pondok pesantren, namun keberkahan ilmunya santri akan tampak ketika keluar dari pesantren. Inilah yang menjadi tekanan bahwa santri harus mengambil peran di masyarakat, termasuk dalam isu kontra radikalisme. Santri harus mau mengembangkan wacana dan diskursus baru selain wacana-wacana tradisional agar para santri memiliki karakter progresif dalam merespon persoalan-persoalan sosial dan keagamaan.
Menjamurnya radikalisme di kampus sebenarnya bukan disebabkan karena apa-apa, tapi karena kurang adanya gerakan tandingan yang menyainginya. Secara, banyak mahasiswa di kampus negeri yang berasal dari kalangan non-santri, dan banyak dari kalangan ini yang memiliki semangat belajar agama tinggi namun belum mendapatkan akses untuk kesana.
Akhirnya ketika santri tidak mau masuk ke ranah ini, yang terjadi adalah orang dengan semangat belajar agama tinggi tersebut akan menerima faham-faham dari siapapun yang mampu menyembuhkan dahaganya terhadap ilmu agama, termasuk dari kelompok Islam kanan.
Terlebih pada mahasiswa eksakta yang cenderung melihat dunia secara hitam-putih. Orang-orang dengan pola pikir semacam ini biasanya akan lebih mudah untuk menerima ide-ide radikalisme. Jadi jangan heran ketika banyak akademisi terpapar radikalisme, karena justru dari kalangan inilah faham radikalisme menemukan kebun suburnya.
Penulis: Imam Syafi’i Zahri
Peserta Lomba Esai- Dinun