Sastra Pesantren sebagai Wujud Eksistensi Literasi Nusantara

Sebagai negara dengan penganut agama Islam terbanyak sedunia, Islam di Indonesia dituntut untuk terus berupaya mewujudkan gerakan modernisasi akan tetapi tidak meninggalkan ajarannya di tengah hiruk pikuk arus globalisasi yang semakin menjadi-jadi.

Read More

Kemajuan era globalisasi saat ini membawa pengaruh besar dalam dunia Islam dengan banyaknya serangan budaya barat yang menyebar, meluas serta berkembang semakin pesat melalui alat canggih generasi milenial yang biasa disebut-teknologi. Perkembangan teknologi yang semakin pesat ini seakan menghipnotis manusia untuk terus eksis mengakses kabar dunia sana-sini, moral dan akhlak pun ikut tergerus hingga lalai bahkan lupa diri demi kesenangan semata dan eksistensi diri mengikuti tren modernisasi.

Di tengah carut-marut tren modernisasi ini, pondok pesantren adalah pendidikan islam paling ideal untuk memupuk jiwa islamisme pada umat islam. Keidealan pondok pesantren sebagai pendidikan yang mendoktrin jiwa islamisme ini bisa diketahui melalui indahnya kehidupan pesantren yang penuh perdamaian, budaya para santri mengaji, tawadlu’ kepada ustadz dan kiai, disiplin, interaksi santri terhadap santri lainnya, ajaran-ajaran dedikasi melalui kitab suci, kitab-kitab klasik yang disebut kitab kuning, dan doktrin islamisme terkait akidah dan akhlak.

Pondok pesantren di Indonesia telah berdiri berabad- abad lamanya, tumbuh subur di Indonesia dengan dedikasi Islamisasi yang mendoktrin penghuninya-yang biasa disebut santri- untuk beradab, dengan jiwa-jiwa islamisme yang kokoh. Tampilnya pesantren sebagai wadah peresmian tradisi kesustraan memang tidak bisa dipandang sebelah mata, banyaknya para penyair, penulis justru lahir dari background pesantren, menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar, tetapi juga lembaga kehidupan dalam mewujudkan cara pandang dan senter kebudayaan.

Secara historis, memandang dari segi konteks, karya sastra pesantren berarti adalah bentuk ungkapan dan luapan perasaan yang dituangkan dalam bentuk tulisan oleh masyarakat pesantren (kiai dan santri) yang mengandung nilai-nilai estetika dan dakwah islamisasi, kemudian di refleksikan dan di representasikan oleh penulis, dalam hal ini kiai dan santri. Salah satu ciri tradisi pesantren adalah adanya kehidupan sastra khas pesantren yang dibangun oleh kiai dan santri dalam perjalanan historisitas kesusastraannya itu.

Karya sastra pesantren tidak hanya sebagai produk kiai yang isinya adalah ekspresi, refleksi, dan representasidari pandangan keagamaannya, tetapi juga merupakan hasil interaksi yang koheren antara produksi dari pengarangnya dan resepsi dari pembacanya. Karya sastra pesantren berupa karya sastra klasik- yakni kitab kuning dan kitab-kitab agama banyak mengandung nilai dakwah dan pesan-pesan kehidupan bagi generasi milenial yang semakin mengikuti tren modernisasi.

Eksistensi sastra pesantren dengan mengikuti laju modernisasi dibuktikan dengan banyaknya sastrawan yang lahir dari pesantren, kemudian sastra pesantren berkembang dari sastra yang awalnya beisikan syair-syair arab pedoman hidup, bertransformasi kepada karya sastra modernisasi keislaman seperti novel, cerpen, puisi, dan lain sebaginya.

Sastra pesantren akan terus eksis dengan mengikuti tren modernisasi dari waktu ke waktu, akan terus melahirkan sastrawan-sastrawan muda dengan bernafaskan nilai dakwah sebagai wujud dokumentasi dalam sejarah perkembangan Islam.

Pesantren dan Sastra Pesantren
Istilah kaum sarungan kerap kali dikaitkan dengan pondok pesantren dalam artian penghuni pesantren itu sendiri, yang biasa di sebut-santri. Istilah kaum sarungan yang melekat pada diri santri di definiskan sebagai orang-orang yang sehari-harinya mengenakan kain sarung yang identik sebagai sebuah identitas kultural terbelakang . Santri dinilai kolot dan tidak mengikuti tren modernisasi masa kini karena gaya berpakaian khas santri yang terkenal dengan istilah kaum sarungan.

Lebih jelas dan sangat terinci sekali Madjid mengupas asal usul perkataan santri, ia berpendapat ”Santri itu berasal dari perkataan ”sastri” sebuah kata dari Sansekerta, yang artinya melek huruf, dikonotasikan dengan kelas literatur bagi orang jawa yang disebabkan karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa Arab. Kemudian diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang agama melalui kitab-kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa membaca al-Qur’an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama .

Sementara Abdurrahman Wahid yang tersohor dengan julukan Gus Dur Mendefinisikan pesantren sebagai tempat dimana santri tinggal. Kemudian di dalamnya ada kiai yang mengajar para santrinya . Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa santri , kiai dan pesantren adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Kedudukan dan fungsi pesantren selain sebagai alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pedidikan, yakni: ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga unsur inilah yang membedakan sistem pendidikan di pondok pesantren dengan sistem pendidikan non pesantren.

Karakteristik Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang masih mempertahankan eksistensinya sampai saat ini karena pesantren dinilai mampu medidik, melatih dan menanamkan nilai-nilai luhur kepada santrinya dengan melalui pengajaran dari kitab-kitab klasik karya sastra pesantren, seperti kitab-kitab kuning, fiqih, akhlak dan lainnya. Selain itu, sejalan dengan visi pesantren yang dikutip dalam buku karya KH. Husein Muhammad bahwa pesantren menanamkan nilai-nilai luhur tentang kesederhanaan hidup, keikhlasan, kemandirian, aksetisme (zuhud) serta sifat mutmainnah lainnya.

Penanaman nilai-nilai luhur ini tidak lepas dari suasana dalam pondok pesantren itu yang sifatnya sederhana namun kental dengan islamisasi yang diajarkan. Kehidupan dalam pesantren menjadi semakin damai, tentram dan aman karena durasi waktu 24 jam hampir sepenuhnya diarahkan untuk mengaji, belajar, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, saling menghormati, dan patuh kepada kiai. Semua ini terintegrasi dalam suasana pondok pesantren yang damai dengan harmonis. Hal ini terwujud karena peran yang saling bersinangungg antara kiai dan santri, yang merupakan elemen-elemen dari pondok pesantren itu sendiri.

Eksistensi Sastra Pesantren
Sastra merupakan pengalaman ekspolarsi pengalaman hidup yang bersifat kreatif dalam rangka memperkaya khazanah kebudayaan. Apapun ideologi dan motif yang melatarbelakangi sastra menulis sebuah karya sastra pasti memiliki makna dan tujuan. Ada kalanya sebagai wadah penghibur guna sebagai nilai estetika, ada kalanya sebagai ungkapan pergolakan seseorang yang menyadari terhadap fenomena tertentu dan kemudian dituangkan dalam sebuah tulisan yang disebut karya sastrra.

Berbicara mengenai sastra pesantren berarti berbicara tentang kajian kitab-kitab klasik yang diajarkan di pondok pesantren berupa kitab kuning, disebut kita kuning karena bagian halamannya berwarna kuning. Selain kitab kuning, kitab-kitab yang diajarkan di pondok pesantren adalah kitab-kitab bahasa arab, tafsir, balaghah dan kitab-kitab klasik lainnya.

Pesantren tetap mempertahankan dan memelihara tradisi keilmuan yang telah menjadi karakteristik dalam sistem pengajaran dalam pondok pesantren yang membedakan dari pendidkan non pesantren. Pesantren memelihara tradisi keilmuan dari waktu ke waktu akan tetapi tetap mengikuti modernisasi masa kini. Tradisi keilmuan pesantren sangat kuat memelihara literaur-literatur keislaman klasik. Sebagaimana maqolah Al-muhafadzah ‘ala qodim al shalih wal ahzhu bil jadid al- ashlah (memelihara tradisi yang baik dan mengambil cara baru yang lebih baik).

Perkembangan sastra pesantren melalui tradisi keilmuan yang ada dalam pesantren sangat kuat memelihara literatur-literatur keislaman klasik. Beberapa karya sastra pesantren seperti kitab kuning yang sangat fenomenal dan terkenal adalah alfiyah karya Ibnu Malik Bait-bait indah penuhh makna yang terkait dalam nadzom alfiyah ini tidak hanya berisikan tentang struktur-struktur tentang ilmu nahwu-sharraf, akan tetapi beisikan tentang nasihat-nasihat pembangun jiwa, nasehat kehidupan, bahkan cinta.

Selain itu, dzikir-dzikir ala santri yang sering dikumandangkan di pesantren banyak mengandung pesan moral serta akidah sebagai pedoman hidup manusia, seperti aqoid saeket, sejarah tentang nabi juga disyairkan melalui barzanji, bahkan tatkrama antara suami dan dan istri juga di dendangkan melalui syai-syair indah uqudulujjain yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa indonesia.

Hal ini membuktikan bagaimana sastra pesantren dengan bait-bait yang mengandung nilai estetika dan dakwah adalah identitas sastra pesantren yang tidak bisa kita pandang sebelah mata.

Penulis: Aisyatin Kamila
(Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo)
Peserta Lomba Esai- Dinun

Sumber:
-Pelangi.com. diakses pada tanggal 8 september 2019
-KH. Husein Muhammad: Perempuan, Isam Dan Negara Pergulatan Identitas Dan Entitas. Yogyakarta: Qalam Nusantara 2016
-Adi Fadli, Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram: Pesantren: Sejarah dan Perkembangannya
-Jurnal Yusni Fauzi Fakultas Pendidikan Islam dan Keguruan Universitas Garut: Pondok Pesantren Hudatul Muna Ii Ponorogo Dalam Pengembangan Pendidikan Santri Untuk Menghadapi Tantangan Di Era Globalisasi Tahun 2015


Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *