Seringkali dipahami bahwa sabar dan pengendalian diri adalah suatu sifat kelembutan bahkan kelemahan, lalu kita mengangap orang yang sabar adalah yang kalem jika berkata dan lambat saat berjalan atau melakukan sesuatu secara pelan-pelan. Karena itu tidak jarang kita mengatakan sabar pada orang yang ingin cepat selesai dalam mengerjakan sesuatu atau banter alias ngebut dalam berjalan. Semua itu tidak salah karena sikap di atas memang berkonotasi pada tindakan yang kurang sabar dalam melakukan sesuatu, meskipun lawan kata sabar bukan tergesa-gesa.
Ada juga orang yang menganggap sebagai tindakan yang tidak sabar pada orang tua yang sedang menegur keras anaknya ketika berbuat salah atau guru yang sedikit memberi hardikan atau ‘hukuman’ kepada murid yang bertindak tidak benar. Padahal sebenarnya, tindakan orang tua atau guru tersebut adalah ekspresi kesabaran dalam mengarahkan anak dan muridnya pada kebenaran. Orang tua atau guru yang diam saja atas tindakan yang salah justru menunjukkan tidak sabar karena hal itu pertanda tidak peduli dan tidak bisa mengarahkan.
Dalam ajaran agama, manusia dituntun untuk bersabar dalam tiga hal; ketika ditimpa musibah, menjalankan perintah atau taat, dan menjauhi larangan yang telah ditetapkan agama. Posisi kesabaran dalam agama seperti kepala dalam tubuh. Kita tahu orang yang tidak lengkap organ tubuhnya, dia masih bisa berperan sebagaimana manusia normal bahkan tidak jarang kemampuannya melebihi orang yang lengkap secara fisik. Tetapi tidak pernah kita melihat orang yang tidak punya kepala, karena semua aktivitas fisik bahkan pemikiran pusatnya di kepala. Tentu saja jika kepalanya tidak ada, orang pasti mati. Rupanya itu juga berlaku untuk apa saja, termasuk institusi sosial terkecil sekalipun, tidak mungkin tidak ada kepalanya. Walaupun mungkin saja tidak secara devinitif disebut sebagai kepala.
Kesabaran bukan berarti menerima apa adanya, tapi bisa jadi sikap menolak bahkan protes terhadap peraturan yang tidak berpihak pada kebenaran. Karena kesabaran adalah ketegasan bersikap dengan kemampuan untuk mengendalikan diri yang bukan hanya karena pertimbangan suka dan tidak suka secara subyektif.
Jika kesabaran itu menerima apa adanya, bisakah nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala di kuil agung Namruz, bisakah nabi Musa menentang Fir’aun yang telah berjasa membesarkannya, dan bila kesabaran itu kelemah-lembutan, bagaimana mungkin nabi Muhammad SAW. menindak tegas tiga suku Yahudi di Madinah yang melanggar kesepakatan suci “Watsiqah Madinah” untuk saling menjaga demi kehidupan masyarakat yang aman dan damai. Marilah kita bersabar dalam menerima atau menolak dengan cara yanng bijaksana tentunya. Wallahu a’lam. [Malang, 30 Januari 2019]
Oleh: Ahmad Kholil