DINUN.ID Selama ini masih terkesan kuat di kalangan masyarakat Muslim Indonesia bahwa proses Islamisasi di bumi nusantara ini berkas jasa para pedagang yang datang dari berbagai wilayah (baca: bangsa) di luar nusantara. Ini merupakan teori lama yang mendominasi kesan kehadiran Islam di Nusantara selama ini. Namun, akurasi teori ini mulai digugat oleh teori lain yang menyebutkan bahwa proses Islamisasi beserta akselerasinya di nusantara sebenarnya merupakan kontribusi dari para pengembara yang sufistik. Para sufi ini berhasil mengislamkan penduduk nusantara dalam jumlah yang besar, bahkah sangat besar. Salah satu alasan keberhasilannya karena para sufi mampu menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontinyuitas daripada perubahan dalam kepercayaan dan praktek keagamaan lokal.
Dominasi para sufi ini dalam proses Islamisasi ini sangat berpengaruh terhadap pola-pola kehidupan umat Islam di negeri ini, melalui pendekatan sufistik. Sebuah pendekatan yang cenderung kuat pada dimensi mistik dan mengarah pada pola mistisisme atau tasawuf. Karena itu, keberagamaan masyarakat dulu (rupanya juga bertahan hingga saat ini) takpak jelas dimensi sufismenya.
Tasawuf atau sufisme sendiri difahami sebagai sebuah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlak, membangun dimensi dhahiriyah dan bathiniyah untuk memperoleh kedamaian rohani dan mencapai kebahagian yang abadi. Sufisme pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisimistisme Islam.
Di Indonesia, kehidupan tasawuf ini khususnya dari perspektif kesejarahannya berusaha dipotret Alwi Shihab melalui karyanya, Islam Sufistik “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia. Buku ini berasal dari penelitian disertasinya di Universitas Ain Syam Mesir dengan judul al-Tashawwuf al-Islami wa Atsaruhu fi al-Tashawwuf al-Indonisi al-Mu’atsir yang membahas peran tasawuf dalam perkembangan Islam di Indonesia.
Dalam buku tersebut disebutkan bahwa sebagai sebuah agama, Islam mempunyai berbagai aspek. Salah satunya adalah mistik, dikenal tasawuf atau sufisme. Tasawuf ini mempunyai jalan sejarah panjang dan unik, khususnya ketika tasawuf ini dipengaruhi oleh ajaran maupun budaya di luar Islam. Melihat perjalanan sejarah tasawuf dalam buku tersebut sungguh menarik untuk ditindaklanjuti sebagai upaya melacak jejak-jejak pengaruhnya di Indonesia. Lebih jauh, mempelajari sejarah perjalanan tasawuf paling tidak sama nilainya, atau bahkan mungkin lebih, jika dibandingkan dengan mempelajari aspek-aspek Islam lainnya.
Alwi Shihab mengakui bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Meski setelah itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat, apakah bersamaan dengan masuknya Islam atau datang kemudian. Perbedaan yang sama terjadi pula mengenai tasawuf falsafi yang diasumsikan sebagai sumber inspirasi bagi penentuan metode dakwah yang dianut dalam penyebaran Islam tersebut (hlm. 36). Sementara Ahmad Syafii Mufid dalam artikelnya yang berjudul “Aliran-Aliran Tarekat di Sekitar Muria Jawa Tengah” menyebut sufisme atau tarekat dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia memiliki arti penting. “Islam Pertama” yang diperkenalkan di Jawa, sebagaimana tercatat dalam babad, adalah Islam dalam corak sufi. Islam dalam corak demikian itulah yang paling mampu memikat lapisan bawah, menengah dan bahkan bangsawan.
Selain itu, juga dijelaskan mengenai sejarah pengaruh tasawuf (gerakan tarekat) dan peranannya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia modern. Studi ini bermuara pada upaya untuk lebih memperjelas dan mempertajam secara tuntas masalah-masalah yang kurang mendapat perhatian selama ini. Oleh Alwi Shihab, tasawuf kemudian ia sebut sebagai “Islam Sufistik” yang terus berkembang dan memainkan perannya di masyarakat Indonesia tanpa berhenti sejak kehadirannya di bumi Jamrud Khatulistiwa ini. Simbol-simbol kehidupan sufistik bukan hanya masih riil di masyarakat hingga sekarang bahkan makin memiliki pesona yang kuat pada mereka termasuk kalangan elitis di kota-kota besar. Pola kehidupan sufistik ini dijadikan penyeimbang dan pengayom dalam mengarungi kehidupan modern yang serba materialistis dan hedonis yang semakin keras dan penuh persaingan kotor yang menjerumuskan pada kejahatan. Karena itu, kehidupan tasawuf dipandang penting dilakukan dan dihayati.