Beberapa waktu lalu, saat saya sedang melakukan interview untuk keperluan satu karayawan staff di perusahaan saya. Saya menemukan dua peristiwa yang cukup menggugah perasaan. Pertama, melihat begitu banyaknya jumlah pelamar yang melebihi 30 orang pelamar, padahal yang dibutuhkan hanya satu. Dan yang kedua saat wawancara itu sendiri.
Saya memang tak langsung menemui semua pelamar, karena untuk efisiensi waktu saya minta agar di sisakan 5 yang terbaik untuk saya lakukan interview secara langsung. Pada saat ketemu 5 pelamar inilah saya temukan beberapa materi yang cukup menggugah.
Diantaranya ada pelamar yang jauh jauh dari pulau seberang Madura, tepatnya kota Bangkalan dengan melaju menggunakan motor menghadiri sesi wawancara ini. Ada juga beberapa diantaranya adalah penerima program PHK yang masih juga belum menemukan pekerjaan barunya. Dan ada juga pelamar yang masih karyawan juga ikut melamar.
Cerita karyawan terakhir inilah yang cukup kencang menggoncang rasa. Pasalnya, Ketika saya tanya apa alasan harus resign sedangkan saat ini masih banyak pencari kerja yang masih belum jelas status pendapatannya. Jawabannya, karena dia menerima upah yang jauh dari standard sedangkan perusahaan tempatnya bekerja tergolong perusahaan cukup besar. Dan kebetulan pemiliknya merupakan figure yang sedang nge-hits karena sedang berkontestasi dalam pesta politik.
Cerita yang terangkum dalam perisitwa ini menjadi refleksi untuk menemukan kembali makna yang dihasilkan oleh kegiatan bisnis itu sebenarnya apa sih? Apakah kegiatan ini lebih mengutamakan hasil untuk menciptakan optimalisasi kekayaan bagi shareholder (pemilik modal) melalui optimalisasi selisih antara revenue (pendapatan) dengan cost (biaya) yang ditimbulkan, Sehingga menciptakan keuntungan besar?
Dengan memberikan upah di bawah standard, mungkin pelaku usaha sudah mampu melakukan efisiensi biaya, karena upah merupakan komponen biaya penting pengurang nilai biaya total, sehingga ujung ujungnya akan menciptkan bottom line angka bawah pemilik modal menjadi tinggi. Lantas kekayaan pemilik modal akan terus bertambah, sehingga ia memiliki modal cukup untuk tampil sebagai figure dan berkontestasi dalam poitik?
Normatifnya, siapapun yang berani tampil menjadi pemimpin rakyat harus berorientasi pada aspek sosial. Karena ia akan menjadi pemimpin sosial (masyarakat). Karena ia akan menjadi pegiat sosial, Tak perduli darimana dia berasal.
Dari konteks ini, jika seorang pegiat sosial berangkat atau dibesarkan dari aktifitas bisnis, seyogyanya sudah mulai dikembangkan konsepsi sociopreneur. Konsepsi ini secara praktik akan memberikan nilai manfaat yang lebih kepada semua pelaku bisnis yang ada dan terlibat dalam lingkaran.
Bukan hanya berhenti pada optimalisasi nilai manfaat yang terukur dalam hitungan materi, yang diwakili oleh angka profit atau keuntungan pemilik modal. Namun, akan memberikan sebaran nilai manfaat yang lebih luwas. Karena kontruksi yang dibangun adalah proses yang berakar pada rasa empathy.
Bagaimana konsepsi ini bisa dijelaskan dengan gamblang bisa menjamin perluasan manafaat? Kalimat kuncinya ada pada rasa empathy yang menjadi akar dibangunnya konsepsi ini. Rasa empathy bagi pelaku bisnis akan melibatkan secara langsung customer (pelanggan) baik secara internal maupun eksternal, termasuk di dalamnya adalah karyawan.
Empathy menjadikan pelaku bisnis bertindak atau memahami pelanggannya bukan hanya bertindak seolah olah seperti pelanggan, tetapi harus menjadi pelanggan. Ia menjalankan bisnisnya dengan meminjam sepatu pelanggan untuk memahami kebutuhan dan keinginnanya, sehingga paham betul bagaimana cara untuk membantu memenuhi kebutuhan itu. Artinya, pelaku bisnis sama halnya memenuhi kebutuhan dan keinginannya sendiri.
Tanpa melibatkan rasa, dengan ia acting menjadi karyawan yang memiliki kebutuhan pokok standard yang harus dipenuhi, maka pelaku usaha hanya akan berpikiran bahwa karyawan adalah bagian kelompok yang butuh kerja, maka ia bisa diperlakukan secara sepihak dipaksa menerima upah di bawah standard. Tak sebanding dengan jerih keringat yang telah dikeluarkan.
Jika hal ini terjadi, maka karyawan akan bekerja dengan menanggalkan rasa empathy nya pula. Ia hanya akan menggunakan rumus transasksional sekadarnya, sehingga output yang disumbangkan juga sekedarnya, alias produktifitas nya menjadi rendah. Ujung ujungnya hasilnya akan memberikan pengaruh pada kelangsungan bisnis dari pelaku usaha itu sendiri.
Konsepsi manfaat seperti inilah yang dimaksud. Jika seluruh lingkaran yang ada dalam bisnis ini dipahami pengalaman, kebutuhan, dan keinginannya, maka kemanfaatan yang bersifat symbiosis akan dicapai. Dengan istilah lain keberkahan akan menyebar merata secara proporsional sesuai peran masing masing.
Pelaku usaha senang, karyawanpun bertahan.
Penulis Socioprenuer dan Book author Meruwat Gagasan, merawat empathy dan kemanusiaan, Muhammad A Nasir
Klik disini untuk melakukan pemesanan buku.