Indonesia adalah salah satu negara yang mayoritas penduduknya terdiri dari warga muslim, hal demikian dapat dibuktikan dengan banyaknya pesantren yang tersebar di berbagai wilayah nusantara, dimulai dari pesantren takhosus Al-Qur’an, kitab kuning maupun bahasa asing. Dari beberapa karakteristik pesantren, penulis tertarik pada salah satu pendiri pesantren di desa Krapyak Yogyakarta yang dirintis oleh Al-Maghfurlah KH. Muhammad Moenawwir. Seorang kiai inspiratif, yang kecintaannya terhadap Al-Qur’an sangatlah mendalam.
Konon, KH. Hasan Bashori, eyang dari KH. M. Moenawwir memiliki keinginan yang kuat untuk menghafalkan kitab suci Al-Qur’an. Namun, beliau merasa sangat berat dalam proses menghafal. Sehingga beliau melakukan riyadhoh dan mujahadah. Akhirnya mendapatkan ilham, bahwa apa yang ia cita-citakan akan dianugerahkan pada keturunannya. Tidak jauh dari cuplikan kisah KH. Hasan Bashori, KH. Abdullah Rosyad yang merupakan ayah dari KH. M. Moenawwir berusaha untuk menghafalkan Al-Qur’an serta melakukan riyadhoh dan mujahadah selama 9 tahun. Sewaktu beliau berada di tanah Makkah, beliau diilhami bahwa anak cucunya yang akan dianugerahi hafal Al Qur’an.
KH. M. Moenawwir adalah putra kedua dari KH. Abdullah Rosyad yang mempersunting Ny. Khodijah sebagai istri pertama. Beliau dilahirkan di Kauman, Yogyakarta. Sejak kecil, beliau sangat gemar nderes (mengulang-ulang bacaan) Al Qur’an. Sebagai bentuk apresiasi, beliau diberikan hadiah uang sebesar Rp. 2,50 jika dapat mengkhatamkan Al-Qur’an dalam tempo satu minggu sekali. Hal demikian dapat dilaksanakan dengan baik, bahkan sekalipun hadiah sudah tidak diberikan, KH. Moenawwir kecil tetap semangat melakukannya.
Ketika dewasa, KH. M. Moenawwir mengirimkan surat kepada ayahnya untuk memohon izin menghafalkan Al-Qur’an di tanah suci. Ayahanda beliau belum memperkenankannya. Surat balasan belum sempat terkirim, KH. Abdullah Rosyad menerima surat kedua yang berisikan bahwa KH. M. Moenawwir sudah terlanjur hafal. Disaat berguru di Makkah, beliau menekuni Al Qur’an Selama 3 tahun, setiap 7 hari satu kali khatam. Selama 3 tahun berikutnya, setiap 3 hari sekali khatam. Dilanjut 3 tahun pula, setiap hari satu kali khatam. Ditambah lagi selama 40 hari, hingga mulut mengeluarkan darah karenanya.
Setelah belajar di tanah suci Makkah, KH. M. Moenawwir melanjutkan studinya ke Madinah. Di tengah perjalanan KH. M. Moenawwir berpapasan dengan lelaki paruh baya yang tidak beliau kenal sebelumnya. Seketika itu, beliau berjabat tangan dan meminta do’a agar menjadi seseorang yang benar-benar hafidzul Qur’an. Kemudian lelaki itu menjawab: “InsyaAllah”. (Menurut KH. Arwani Amin: lelaki paruh baya tersebut adalah Nabi Khidir a.s; dan peristiwa terjadi di Rabigh).
Seusai belajar di Makkah dan Madinah, KH. M. Moenawwir mengabdikan diri untuk negeri. Membangun pelita harapan dengan didirikannya pesantren Krapyak pada tahun 1909 M dan mulai ditempati mengajar Al-Qur’an di tahun 1910 M. Dalam kesehariannya beliau istiqomah untuk mewiridkan Al-Qur’an, baik secara bil ghoib maupun bin nadhri. Sehingga tidak menjadi hal yang tabu jika KH. Moenawwir memiliki hafalan yang kuat dan tidak goyah sedikitpun. Pada waktu senggang beliau masuk ke dalam kamar khusus yang terletak di sebelah utara masjid Krapyak, tidak lain dan tidak bukan untuk bertawajjuh kepada Allah. Tidak jarang pula KH. M. Moenawwir mengajak santrinya untuk bersama-sama memanjatkan do’a untuk mengatasi berbagai persoalan umat, dengan mengamalkan amalan Shalawat Nariyah 4444 kali dan surat Yasin 41 kali.
Setiap pertengahan bulan Sya’ban KH. M. Moenawwir mengadakan ziarah makam yang biasa disebut dengan “Nyadran”, upacara adat yang sudah menjadi tradisi di beberapa daerah khususnya masyarakat jawa, yang mana hal demikian Beliau lakukan bersama santrinya di daerah Dongkelan (2 km ke arah barat dari desa Krapyak). Beliau juga pernah menyempatkan diri untuk berziarah ke makam yang terletak di Batuampar, Madura. Beliau pernah berziarah ke makam R. Syahid atau yang biasa disebut dengan Sunan Kalijaga dengan berjalan kaki. Sehingga dari beberapa amaliyah ini dapat menjadi bukti bahwa KH. Moenawwir sangat hormat kepada auliya’.
Terkait amal yaumiyah, KH. M. Moenawwir memilih awal waktu untuk menunaikan ibadah salat fardhu dan tak lupa salat sunnah rawatib selalu beliau langgengkan. Beliau juga mudawamah¬ dalam melakukan salat isyroq, dhuha, dan tahajud di sepertiga malamnya. Beliau mewiridkan Al-Qur’an setiap ba’da ashar dan shubuh. Walaupun beliau terkenal dengan hafalan yang sangat kuat, KH. M. Moenawwir kerap menggunakan mushaf Al-Qur’an dalam proses menjaga ayat-ayat Allah. Tidak mengenal tempat dan waktu, ketika beliau bepergian, berjalan kaki, berkendara, dan pada saaat dirumah. Tiga puluh juz beliau hatamkan satu kali dalam satu minggu, yakni diakhiri pada hari kamis sore. Demikian beliau wiridkan Al-Qur’an sejak berumur 15 tahun hingga akhir hayatnya.
Sewajarnya menimpa manusia pada umumnya, KH. M. Moenawwir pernah menderita sakit selama 16 hari. Pada mulanya hanya terjangkit penyakit ringan, seiring bertambahnya waktu menjadi parah. Tiga hari terkahir selama sakit, beliau tidak tidur. Beliau juga mengundang masyarakat untuk berbondong-bondong melakukan pembacaan surat Yasin sebanyak 41 kali. Rombongan berdatangan secara bergantian, saat satu rombongan selesai, disusul dengan rombongan yang lain, hal tersebut terus menerus terjadi tidak ada putus-putusnya.
Di kala beliau menghembuskan nafas terakhirnya, pada hari Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir H. (1942 M) KH. M. Moenawwir ditemani oleh putrinya yang bernama Ny. Jamilah. Salat jenazah dilakukan secara bergantian, lantaran terlalu banyak orang-orang yang berta’ziyah. Jalanan sepanjang desa Krapyak hingga makam Dongkelan, penuh sesak dipenuhi warga yang beramai-ramai ingin turut serta mengangkat jenazah beliau. Hingga pada akhirnya jenazah cukup dioperkan dari tangan ke tangan hingga sampai di komplek pemakaman di desa Dongkelan.
Dari beberapa paparan diatas, sosok KH. M. Moenawwir adalah pribadi yang sangat mencintai Al-Qur’an. Tidak mengenal tempat maupun waktu, dikala tua maupun belia, di waktu siang maupun malam beliau selalu berusaha dan mewiridkan hafalannya. Tentunya hal demikian dibarengi dengan riyadhoh yang menjadi amalan setiap hari. Sudah selayaknya, kita sebagai generasi Qur’ani mencontoh kebiasaan baik beliau dalam kehidupan sehari-hari. Membiasakan diri dalam kebaikan, menggiatkan agar menjadi ketaatan dan serta merta menjadikannya sebagai motivasi diri agar terus semangat menekuni ayat-ayat Allah, baik berupa tekstual maupun kontekstual. Semoga dengan ditulisnya biografi ini dapat menjadi wasilah untuk menuju surga, berkumpul dengan hambaNya yang sholih dan sholihah. Wallahu A’lam.
Oleh: Islamiatur Rohmah (Santri Krapyak)
Peserta Lomba Esai Dinun