DINUN.ID-Saya ingat, sebuah pesan pendek masuk ke dalam ponsel saya, isinya, “Syekh yang terhormat, apa hukumnya bunuh diri?” Maka saya langsung menelfon si penanya, dan seorang muda belia mengangkat telfon. Saya berkata kepadanya, “Maaf, saya tidak mengerti pertanyaanmu. Tolong ulangi lagi!”
Ia menjawab dengan gelisah. “Pertanyaanku sudah jelas. Apa hukum bunuh diri?”
Saya ingin mengejutkannya dengan jawaban yang ia tak sangka-sangka. Saya tertawa dan berkata, “mustahabb (dianjurkan).”
Ia berteriak, “Apa?!” terlihat nadanya kaget.
Saya katakan, “Hukum bunuh diri adalah dianjurkan. Bagaimana menurutmu jika kita bekerja sama untuk menentukan caramu bunuh diri?” Pemuda itu terdiam.
Saya katakan lagi, “Baiklah, kenapa kamu ingin bunuh diri?”
Ia kemudian menjawab, “Saya tidak punya pekerjaan, dan orang-orang tidak mencintai saya. Sungguh saya ini orang yang gagal.”
Ia pun menceritakan kisah hidupnya yang selalu gagal dalam mengembangkan potensi diri, ketidakmampuannya dalam memanfaatkan potensi yang ia miliki.
Apa yang terjadi pada pemuda tersebut seringkali juga terjadi bagi banyak orang. Mengapa seseorang memandang rendah dirinya? Mengapa ia melihat, dengan matanya sendiri, orang-orang berada di puncak gunung, sedang ia melihat dirinya sendiri tidak mampu untuk mendaki puncak yang sama seperti mereka. Atau, setidaknya ia berusaha mendaki gunung seperti mereka. Siapa pun yang takut mendaki gunung, selamanya ia akan tinggal di dalam jurang.
Tahukah kamu siapa orang yang tidak akan mengambil manfaat dari buku ini, atau buku-buku yang lain? Mereka adalah orang miskin yang pasrah akan kesalahan-kesalahannya dan menerima semua keadaannya, kemudian mereka berkata “Beginilah kondisiku sejak lahir. Aku sudah terbiasa. Tak mungkin lagi aku dapat mengubah jalan hidupku. Dan, orang lain pun juga sudah terbiasa dengan kondisiku ini. Tidak mungkin aku menjadi seperti si Ali yang pandai berbicara. Atau, Ahmad yang selalu ramah, atau Ziyad yang dicintai banyak orang. Semua itu tidak mungkin bagiku.
Suatu hari, saya duduk bersama seorang tokoh terkenal yang sudah lanjut usia dalam suatu majelis. Semua yang hadir adalah orang biasa yang tampak sederhana. Tokoh tersebut berbincang banyak hal dengan orang yang ada di sampingnya.
Tidak ada orang lain di majelis itu yang menyerupai sang tokoh tersebut, kecuali, satu orang yang pantas dihormati karena usianya yang juga sudah tua. Ya, hanya karena usianya itu. Saya pun memberikan sambutan pendek. Saya menyampaikan sebuah fatwa yang pernah sisampaikan oleh salah satu ulama Arab Saudi terkemuka yang hidup di abad 20.
Ketika sudah selesai, orang tua tadi berkata dengan bangganya, “Saya dengan ulama yang namanya Anda sebut tadi pernah belajar bersama di masjid kepada Syekh Muhammad Ibrahim, empat puluh tahun yang lalu.”
Saya menatap wajahnya yang tampak cerah. Ia tampak senang sekali karena pernah berteman dengan seorang ulama terkemuka.
Namun, sesuatu berkecamuk dalam diri saya, “Mengapa, hai orang miskin, engkau tidak berhasil sebagaimanan temanmu yang menjadi ulama terkemuka itu? Jika tahu caranya berhasil, mengapa engkau belum berhasil juga?” Mengapa temanmu yang ulama teserbut, pada saat meninggal, ia ditangisi oleh banyak mimbar, mihrab, perpustakaan, dan masyarakat merintih karena kepergiannya. Sedangkan engkau, suatu hari akan meninggal, dan bisa jadi tak seorang pun menangisi kepergianmu, kecuali basa-basi, atau karena sebatas karena tradisi!!”
Setiap orang diantara kita, mungkin saja mengatakan, suatu ketika, saya kenal dengan si Fulan. Saya pernah berteman dengan si Fulan. Saya pernah duduk bersama dengan si Fulan! Ini bukanlah kebanggaan. Kebanggaan itu adalah jika engkau bisa mencapai puncak seperti orang lain.
Jadilah pemenang dan mulailah bertekad mulai sekarang untuk memaksimalkan potensi yang ada, jika potensi-potensi itu dirasa memberikan kemanfataan. Jadilah orang yang berhasil. Ubahlah kemurunganmu menjadi senyuman, depresimu menjadi kebahagiaan, pelitmu menjadi kedermawanan, amarahmu menjadi kasih sayang. Jadikan musibah sebagai kesenangan, dan iman sebagai senjata. Jangan lupa, nikmatilah dengan hidupmu. Hidup itu singkat. Tak ada waktu di dalamnya untuk bersedih. Tentang bagaimana caramu melakukannya, itulah alasan saya menyusun buku ini. Tetaplah bersama saya, insyaAllah kita akan sampai pada tujuan.
*Tulisan ini disarikan dari kitab Istamti’ bi-Hayatik: Maharat wa Funun al-Ta’amul ma’a al-Nas fi Zhill al-Sirah al-Nabawiyyah, karya Dr. Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-‘Urayfi.